Dengan cepat ia membuka pintu dapur, berharap menemukan jawabannya. Yang terlihat hanyalah dapur kosong dengan lampu berkedip pelan. Akan tetapi, dari sudut ruangan, terdengar suara pelan, seperti gumaman.
“Eh … salah rumah, ya?”
Farid terdiam. Ia memutar kepala ke arah suara dan melihat sosok berbalut kain putih berdiri di sudut dapur. Sosok itu terlihat kikuk, bahkan anehnya menggaruk kepala, meskipun tangannya terikat.
“Hah? Salah rumah? Lo siapa?” tanya Farid, masih tercengang.
Sosok itu tersenyum malu-malu. “Saya pocong, Mas. Nyasar. Kuburannya sebelah mana, ya?”
Kontrakan Gue
Karya : Titik Puspita Sari dan Ziya_Khan21
Di pinggiran kota yang sunyi, berdirilah sebuah rumah kontrakan tua dengan cat yang mengelupas, pagar kayu lapuk, dan rerumputan liar yang seolah-olah merayakan kebebasannya. Rumah itu, meski tampak suram, memiliki daya tarik tersendiri bagi Farid, pemuda ceria berusia 26 tahun. Baru saja diterima sebagai desainer grafis di kota, Farid memutuskan untuk memulai hidup barunya di rumah itu.
Farid adalah sosok yang selalu melihat sisi lucu dalam segala hal. Dengan rambut sedikit berantakan dan senyum lebarnya, ia lebih sering dianggap santai daripada serius. Ketika teman-temannya tahu ia memilih rumah kontrakan murah itu, Bayu, sahabatnya, langsung protes.
“Rid, itu rumah tua! Banyak cerita seremnya!” ujar Bayu.
Farid hanya terkekeh sambil menepuk bahunya. “Yang penting murah, Yu. Kalau ada hantunya, mungkin gue bisa ajak mereka ngobrol, siapa tahu mereka kesepian.”
Jalan menuju rumah itu sempit dan dihiasi lampu jalan yang lebih banyak meredup daripada menyala. Deretan rumah lainnya berdiri berjauhan, seolah-olah enggan saling berbicara. Ketika Farid tiba, ia berdiri di depan gerbang, memandang bangunan itu sambil menarik napas dalam-dalam.
“Ini dia, rumah baru gue. Aroma petualangan!” katanya, menyeret kopernya masuk.
Begitu pintu tua itu terbuka, aroma kayu lembap dan debu langsung menyergap hidungnya. Ruangan dalamnya luas, tapi gelap. Tirai tipis kusam menggantung di jendela besar, sementara sarang laba-laba menghiasi sudut-sudut langit-langit. Namun, alih-alih takut, Farid hanya tersenyum kecil.
“Hantunya kalau ada pasti udah bosan sendirian di sini,” gumamnya.
Namun, Farid belum tahu, rumah ini bukan sekadar tempat tinggal murah. Ada penghuni lain di sana, penghuni yang anehnya, jauh lebih pelupa daripada menyeramkan.
***
Malam pertama di kontrakan, Farid sudah merasa ada yang ganjil. Saat sedang menata barang-barang di ruang tamu yang temaram, suara pintu belakang yang perlahan terbuka memecah keheningan.
“Kreeeek…”
Farid menoleh, mengerutkan kening. “Wah, angin kenceng, ya,” gumamnya. Tapi ia tahu, semua jendela sudah tertutup rapat.
Belum selesai rasa herannya, terdengar langkah kaki dari arah dapur pelan, menyeret-nyeret. Farid menghentikan aktivitasnya, melirik ke dapur yang tampak kosong. “Ah, mungkin kucing,” ujarnya, kembali ke barang-barangnya.
Tiba-tiba, pintu dapur menutup sendiri dengan suara keras.
“Braaak!”
Farid terlonjak. Tapi bukannya kabur, ia malah mendekat, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Siapa di sana? Kalau maling, bilang aja, gue gak punya barang mahal!” katanya, mencoba terdengar berani.
Dengan cepat ia membuka pintu dapur, berharap menemukan jawabannya. Yang terlihat hanyalah dapur kosong dengan lampu berkedip pelan. Akan tetapi, dari sudut ruangan, terdengar suara pelan, seperti gumaman.
“Eh … salah rumah, ya?”
Farid terdiam. Ia memutar kepala ke arah suara dan melihat sosok berbalut kain putih berdiri di sudut dapur. Sosok itu terlihat kikuk, bahkan anehnya menggaruk kepala, meskipun tangannya terikat.
“Hah? Salah rumah? Lo siapa?” tanya Farid, masih tercengang.
Sosok itu tersenyum malu-malu. “Saya pocong, Mas. Nyasar. Kuburannya sebelah mana, ya?”
Farid menatap tak percaya. Beberapa detik kemudian, ia meledak tertawa. “Astaga! Hantu kok bisa nyasar? Ini pocong atau GPS eror?”
Pocong itu mengangguk, tampak bersalah. “Beneran, Mas. Saya salah alamat. Bisa bantu tunjukin jalan, gak?”
Farid mengusap wajahnya sambil tertawa lagi. Malam itu, ia akhirnya menyadari satu hal: kontrakan ini memang punya penghuni lain. Tapi bukannya menyeramkan, mereka lebih mirip makhluk ajaib yang kehilangan koordinasi.
***
Malam pertama setelah pertemuannya dengan si pocong pelupa, Farid mulai menyadari bahwa kontrakan barunya jauh dari kata normal.
Suatu malam, saat sedang duduk di ruang tamu sambil menonton TV, Farid mendengar suara tawa samar. Tawa itu terdengar seperti perempuan, tetapi sedikit serak dan menggema. Ia menoleh ke belakang, dan di sana, di sudut gelap ruangan, berdiri seorang wanita berambut panjang dengan baju putih yang kusut.
“Eh, lo siapa?” tanya Farid santai sambil memiringkan kepala.
Wanita itu, yang jelas-jelas kuntilanak, tampak bingung. “Eh… lupa. Mau ngomong apa tadi, ya?” katanya sambil garuk-garuk kepala.
Farid tertawa. “Hantu kok pelupa. Ya udah, kalau inget nanti balik lagi aja.”
Dan benar saja, kuntilanak itu kembali lagi setelah beberapa menit, kali ini membawa suara tawanya lebih keras.
“Oh iya! Gue mau bilang, jangan buka pintu belakang tengah malam. Bahaya.”
Farid mengernyit. “Kenapa? Ada apa emangnya?”
Kuntilanak itu malah terdiam lagi, lalu berkata, “Eh, gue lupa kenapa. Pokoknya bahaya, deh!”
Farid hanya menghela napas panjang. “Ya udah, kalau inget alasannya, kasih tau, ya.”
Malam-malam berikutnya, “tamu-tamu” baru terus berdatangan. Ada Genderuwo besar berbulu lebat yang tiba-tiba muncul di dapur saat Farid sedang memasak mie instan.
“Wih, enak banget baunya!” ujar Genderuwo sambil mengendus-endus udara.
Farid yang awalnya terkejut, malah tertawa. “Lo ini hantu apa food vlogger? Kalau mau, bikin sendiri. Kulkas di situ.”
Genderuwo itu menggaruk kepalanya, tampak canggung. “Gue gak bisa buka kulkas. Gede banget tangannya.”
Farid tertawa lebih keras. “Hantu segede lo gak bisa buka kulkas? Ya udah, tunggu bentar. Gue bikinin mie.”
Lalu ada Tuyul, yang suka muncul saat Farid sedang bekerja di kamar. Tuyul ini memiliki kebiasaan buruk: mengacak-acak barang di meja Farid, membuat laptopnya tiba-tiba mati, atau mencuri pulpen-pulpen kesayangannya. Namun, setiap kali berbuat ulah, Tuyul itu selalu meninggalkan uang receh sebagai “kompensasi”.
“Serius, lo ngasih receh seratus perak doang? Gue rugi, tahu gak!” keluh Farid sambil mengumpulkan uang-uang kecil yang berserakan.
Tuyul itu hanya nyengir lebar. “Kan niatnya baik, Mas. Maaf, ya.”
Malam demi malam, Farid mulai terbiasa dengan keanehan itu. Rumah kontrakan yang awalnya menyeramkan kini terasa seperti asrama mahasiswa dengan penghuninya yang aneh dan penuh drama. Kuntilanak sering lupa apa yang ingin ia katakan, Genderuwo selalu lapar dan merengek minta makanan, dan Tuyul yang berusaha jadi pencuri “profesional” malah lebih sering ketahuan dan minta maaf.
Alih-alih merasa terganggu, Farid mulai merasa ada hiburan tersendiri tinggal di kontrakan itu. Baginya, para penghuni gaib ini lebih seperti teman sekamar yang ceroboh, tapi asyik diajak bercanda. Meski kehadiran mereka membuat hari-harinya tidak pernah tenang, Farid mulai berpikir bahwa kontrakan ini, dengan segala kekonyolannya, adalah tempat yang sempurna untuk hidup sambil mengumpulkan cerita lucu.
Perjanjian Aneh
Farid sudah hampir kehilangan akal. Berminggu-minggu hidup bersama penghuni gaib membuatnya lelah. Malam yang ia harapkan tenang selalu diwarnai suara-suara aneh, tawa nyaring yang tiba-tiba, dan barang-barang yang entah bagaimana berpindah tempat. Ia sudah menerima keberadaan mereka, tetapi jika terus begini, pekerjaannya sebagai desainer grafis pasti hancur.
Malam itu, ia menatap laptopnya yang penuh stiker lucu hasil karya si Tuyul kecil. Dengan napas panjang, ia mengumpulkan keberanian.
“Cukup!” serunya sambil menyalakan lilin di ruang tamu. “Semua kumpul sekarang juga!”
Ajaibnya, mereka benar-benar muncul. Kuntilanak yang sedang merapikan rambut panjangnya, Genderuwo yang membawa bungkusan snack, dan Tuyul kecil yang sibuk dengan remote TV. Farid memandang mereka dengan serius, sementara para hantu itu terlihat bingung.
“Kita perlu bikin aturan,” kata Farid, menunjuk Kuntilanak terlebih dulu. “Mbak Kuntilanak, ketawanya boleh, tapi jangan di bawah jam 10 malam. Gue butuh kerja fokus, ngerti?”
Kuntilanak mengangguk pelan, meski ragu. “Kalau ada yang lucu sebelum jam 10, gimana?”
“Tahan! Kalau nggak bisa, lo keluar ke halaman. Jangan ganggu gue,” jawab Farid tegas.
Ia kemudian menoleh ke Genderuwo, yang duduk dengan tubuh besar melampaui sofa. “Bang Genderuwo, lo udah bikin kulkas gue rusak tiga kali. Lo harus belajar buka pintunya pelan-pelan.”
“Tapi, Mas, tangan saya gede, kulkasnya kecil banget,” balas Genderuwo dengan nada bersalah.
Farid mengangguk pelan. “Gue beliin pegangan pintu tambahan, tapi lo janji nggak bakal ngerusak lagi, ya?”
“Siap, Mas!” sahut Genderuwo, memperlihatkan gigi-gigi besarnya.
Terakhir, Farid menunjuk Tuyul kecil yang tersenyum malu-malu. “Lo suka ambil barang gue, kan? Mulai sekarang, Cuma boleh ambil barang nggak penting. Dan kalau mau ninggalin receh, pastiin jumlahnya genap seribu rupiah. Gue malas ngitung koin kecil!”
Tuyul itu mengangguk cepat. “Siap, Mas!”
Setelah semua aturan dibacakan, Farid memastikan mereka mengulang janji mereka satu per satu. Rasanya konyol, tapi ajaibnya, mereka mematuhinya.
Hari-hari berikutnya menjadi lebih tertib. Kuntilanak hanya tertawa setelah jam 10, meski sesekali masih lupa. Genderuwo berjuang keras membuka kulkas tanpa merusaknya, dan Tuyul kini lebih selektif memilih barang yang “dipinjam.” Meski aturan kadang dilanggar, Farid sudah terbiasa menegur mereka seperti teman sekamar yang ceroboh.
“Gila, gue kayak kepala asrama buat hantu,” gumamnya sambil tersenyum.
Rumah itu tetap jauh dari kata normal, tapi akhirnya ada kedamaian aneh yang membuat Farid bisa menjalani hidupnya tanpa terlalu banyak gangguan.
***
Kehidupan Farid mulai tenang setelah perjanjian dengan penghuni kontrakannya. Namun, kedamaian itu tak bertahan lama. Kabar tentang manusia yang bisa hidup rukun dengan hantu menyebar cepat, bahkan ke desa-desa gaib.
Malam itu, Farid sedang santai membaca komik digital ketika terdengar ketukan di pintu. Dengan ragu, ia membukanya. Ternyata, di teras berdiri segerombolan tuyul kecil dengan wajah penuh semangat.
“Mas Farid, ini tempat kursus maling sopan, ya?” tanya salah satu tuyul polos.
Farid mengerutkan dahi. “Kursus maling? Siapa bilang?”
“Si Anto,” jawab tuyul itu sambil menunjuk rekannya.
Belum sempat Farid menjelaskan, tiga kuntilanak melayang mendekat sambil cekikikan. “Mas Farid, kami dengar dari Kuntil di sini kalau ngobrol sama Mas asyik banget. Boleh main, kan?”
Farid menatap Kuntilanak penghuni kontrakannya, yang tersenyum malu. “Aku Cuma bilang Mas asyik, gak ngajak mereka ke sini.”
Dan sebagai puncaknya, segerombolan pocong melompat datang dengan membawa rantang. “Mas, mie goreng di sini katanya enak banget. Betul, ya?”
Farid menepuk dahinya. Dalam sekejap, kontrakannya berubah menjadi tempat berkumpul hantu dari segala penjuru. Tuyul-tuyul berlarian di halaman, kuntilanak sibuk berdiskusi tentang gaya rambut, dan pocong terus bertanya soal makanan.
Farid akhirnya tak tahan. “Semua DIAM!” serunya.
Semua mata tertuju padanya. Dengan nada lelah, Farid melanjutkan, “Denger ya, gue nggak buka kos-kosan atau restoran buat hantu. Kalau mau ke sini, ada jadwalnya. Gue nggak sanggup tiap malam kayak gini.”
Para hantu saling berpandangan dan akhirnya setuju membuat jadwal kunjungan: tuyul pagi hari, kuntilanak sore, dan pocong malam (syaratnya membawa makanan sendiri).
Saat semuanya bubar, Farid menutup pintu dengan helaan napas. “Gila, gue jadi kepala komunitas supernatural.”
Genderuwo yang masih asyik ngopi di dapur tersenyum. “Tenang, Mas. Gue bantuin jaga pintu, deh.”
Meski kini lebih teratur, hidup Farid tetap jauh dari normal. Namun, di balik semua kekacauan, ia menyadari satu hal: kontrakannya kini adalah rumah bagi sebuah komunitas unik yang, anehnya, membuat hidupnya lebih berwarna.
***
Malam itu, Farid sudah merasa ada yang aneh sejak melangkah mendekati kontrakannya. Rumah yang biasanya remang kini bercahaya warna-warni, dan dari dalam terdengar suara tawa bercampur musik gamelan yang asing.
“Apaan lagi ini?” gumamnya sambil mempercepat langkah. Saat pintu dibuka, pemandangan di dalam membuatnya tertegun.
Ruang tamu berubah total. Genderuwo berdiri di tengah ruangan sambil memegang obor, seperti pemimpin ritual. Kuntilanak-kuntilanak melayang, menari berputar-putar, sementara tuyul-tuyul sibuk mengedarkan snack. Di sudut, pocong-pocong memainkan gamelan dengan semangat.
Farid mendekat dengan wajah merah padam. “Apa-apaan ini?!”
Genderuwo menyambut dengan senyum lebar. “Selamat datang, Mas Farid! Ini festival kecil-kecilan buat refreshing. Seru, kan?”
“Kecil-kecilan?!” Farid menunjuk ke arah gamelan. “Lo semua dapet barang-barang ini dari mana?! Dan kenapa tanpa izin gue?”
Sebelum ada yang menjawab, terdengar ketukan keras di pintu. Tok! Tok! Tok! Dengan hati berdebar, Farid membuka pintu dan mendapati Pak Darto, tetangga sebelah, berdiri dengan wajah curiga.
“Farid! Apa yang lo lakukan? Lampu kedip-kedip, suara aneh, kayak rumah angker!” serunya.
Dari belakang Pak Darto muncul seorang pria tua berpakaian serba putih. “Saya dukun yang dipanggil untuk memeriksa ini,” katanya tegas.
Farid menahan napas saat si dukun melangkah masuk, mengangkat tongkatnya, lalu menggumam, “Hmm… aneh. Tidak ada aura negatif di sini. Yang saya rasakan hanya… keceriaan?”
Pak Darto melongo. “Apa maksudnya?”
Dukun itu mengangguk bijak. “Ini bukan rumah angker. Lebih mirip pesta. Ada tawa, musik, dan… gamelan?”
Farid tertawa gugup. “Eh… itu suara TV, Pak. Saya lagi nonton film musikal.”
Pak Darto masih curiga, tapi akhirnya pergi bersama si dukun, meninggalkan Farid yang langsung berbalik ke arah penghuni gaibnya.
“Gue udah bilang, jangan bikin keributan!” bentaknya. “Kalau kalian ngulang lagi, gue serius manggil dukun buat ngusir kalian!”
Genderuwo menunduk malu. “Maaf, Mas. Kami Cuma mau senang-senang. Gak bakal diulangin lagi.”
Farid menghela napas. “Mulai sekarang, kalau mau bikin acara, izin dulu. Gak boleh ganggu tetangga. Ngerti?”
Para hantu mengangguk serempak. Malam itu mereka membersihkan sisa pesta, meski terlihat kikuk. Genderuwo kesulitan mencuci piring dengan tangannya yang besar, sementara pocong mencoba melipat tikar sambil melompat-lompat.
Saat semuanya selesai, Farid duduk di sofa, memandang rumah yang akhirnya tenang. “Hidup gue absurd banget,” gumamnya, lalu tertawa kecil.
***
Setelah kekacauan Festival Arwah yang sempat membuatnya nyaris gila, Farid mulai merasakan perubahan kecil tapi signifikan di kontrakannya. Para penghuni gaib kini lebih patuh pada aturan, meski sesekali masih ada insiden lucu yang membuatnya mengelus dada.
Kuntilanak, yang sering tertawa di waktu tak tepat, kini membantu Farid dengan caranya sendiri. Salah satu desain karakter horor yang terinspirasi dari sosoknya berhasil memenangkan Farid proyek besar. Kuntilanak itu senang bukan main ketika Farid menunjukkan sketsa dirinya di layar laptop, meskipun ia sedikit keberatan digambarkan terlalu menyeramkan.
Sementara itu, tuyul-tuyul yang sebelumnya gemar mengacak-acak barang kini berubah menjadi pencatat keuangan yang luar biasa. Setiap pengeluaran Farid tercatat rapi di buku kecil yang mereka siapkan. Bahkan, mereka mampu mengingat detail kecil yang Farid sendiri lupa, seperti berapa harga kopi instan yang dibeli dua minggu lalu.
Genderuwo, yang tubuhnya besar dan intimidatif, dengan sukarela menjadi penjaga rumah. Meski tidak ada pencuri yang pernah berani mencoba masuk, hanya melihat sosok besar itu duduk santai di depan kontrakan sudah cukup membuat tetangga sebelah waspada.
Namun, kehidupan ini tidak selalu berjalan mulus. Kuntilanak sesekali lupa aturan dan tertawa di malam buta, membuat Farid harus menjelaskan ke Pak Darto bahwa itu suara angin. Pocong juga kerap jatuh terguling saat mencoba membantu pekerjaan rumah, membuat Farid harus membereskan kekacauan yang mereka timbulkan. Meski begitu, Farid tak lagi kesal. Kekacauan ini mulai terasa seperti dinamika keluarga yang menghibur.
Suatu malam, Farid duduk di sofa ruang tamu, memandangi mereka semua dengan senyum kecil. Kuntilanak sedang bermain kartu dengan ekspresi penuh konsentrasi, tuyul menghitung tumpukan uang receh, dan Genderuwo asyik menonton televisi sambil ngemil keripik singkong.
“Gue gak pernah nyangka,” kata Farid tiba-tiba, suaranya tenang. “Kontrakan ini bakal jadi tempat paling ‘hidup’ yang pernah gue tinggali.”
Kuntilanak menoleh sambil tersenyum. “Kami juga gak nyangka bakal punya manusia yang bisa nerima kami.”
Farid tertawa kecil, lalu menyesap the hangatnya. Ia menyadari satu hal penting malam itu: rumah bukanlah soal siapa yang tinggal di dalamnya, tetapi bagaimana tempat itu membuat seseorang merasa diterima. Dengan segala keanehan dan kekacauan yang ada, kontrakan ini adalah rumah paling berwarna yang pernah ia miliki.
SELESAI
Bionarasi Penulis :
Titik Puspita Sari, lahir di Blora jawa tengah.
Rutinitas harinya masih sebagai mahasiswi, awal mula dia menulis sekitar bulan oktober 2023 sehingga bisa dikatakan penulis baru. Kedati demikian dia adalah penulis yang aktif sekarang dia mencoba keperuntungan dalam dunia jurnalistik sebagai penulis berita dan pencari berita local, nasional maupun internasional.
Hobi dia adalah belajar, dan menyukai hal-hal baru, menulis adalah hobi yang utama.
Motto hidup: “Bermimpilah setinggi langit ketujuh jika kamu jatuh maka kamu akan jatuh kelangit ke enam karena tidak semua orang punya cukup keberanian akan hal itu.”
Harapan bisa ikut kontribusi dalam dunia literasi utamanya supaya penduduk Indonesia mengerti pentingnya isi otak daripada isi perut.
Ilmu lebih dibutuhkan daripada makan, karena makan sehari 2-3 kali sementara ilmu dibutuhkan setiap hari dan ilmu tidak akan didapatkan tanpa kita membaca, menulis adalah cara mengikat ilmu ataupun menyebarkannya.
Semoga karya-karya yang dihasilkan bisa bermanfaat untuk kehidupan dunia serta bermanfaat kehidupan setelahnya yaitu kehidupan akhirat. Insya Alloh aamiin Yaa Robbal’alamiin
Ziya_khan21, nama yang dia pakai sebagai tanda pengenal dalam dunia literasi yang saat ini digelutinya. Dia lahir di kota kecil di Jambi, tanggal 21 Agustus. Dia seorang Ibu dari tiga anak yang mempunyai hobi menulis sejak masa SMP. Saat ini dia sudah menjadi penulis di tiga platform online. Motto hidupnya adalah “Jangan pernah menyerah selama usaha dan doamu belumlah maksimal.”
Temukan siapa dirinya di Fb: Ziya Khan dan di IG: @ziya_khan2185.
Absurd banget ceritanya.
Keren Kak Ziy and Kak Titik.
Sesuai dengan penghuni kelas gaib di ICW ya. Somvlak pisan euy.
Keren, Kak. Ceritanya tidak semenyeramkan genrenya. Semangat ….
Lebih serem token listrik berbunyi dan wifi mati ya, Kak.