JANGAN SAKITI AKU LAGI

Karya: Wulan Ayu

Pict by: George Moldovan

“Saya terima nikah dan kawinnya Siska Binti Suparja dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai.”

Tak lama terdengar sambutan kata sah dari penghulu dan para saksi. Kini resmi sudah Mas Fajar–suamiku–mempersunting istri barunya, Siska yang notabene masih kerabat jauh keluarga ibu mertuaku.

Aku hanya bisa tertunduk menahan perih yang mengiris hati, menyaksikan laki-laki yang telah menjadi pendampingku selama lima tahun, mengucap janji pernikahan dengan wanita lain.

“Sebaiknya kamu segera ke dapur, siapkan hidangan.” Suara ibu mertua menyadarkanku dari lamunan.

“Baik, Bu,” sahutku pelan.

Aku segera berlalu ke dapur dan mempersiapkan hidangan yang akan disantap oleh para tamu undangan beserta keluarga, setelah acara pernikahan selesai dilaksanakan. Sebisa mungkin kusibukkan diri dengan semua pekerjaan di dapur hari itu, agar air mata ini tidak tumpah di hadapan orang-orang.

Yah, akulah seorang istri yang harus merelakan suaminya menikahi perempuan lain karena sebuah kekurangan. Aku tidak bisa memberikan keturunan kepada Mas Fajar. Bukan karena mandul ataupun penyakit, tetapi akibat sebuah kecelakaan.

Tahun pertama pernikahan terasa begitu indah dan manis, mempunyai suami tampan serta baik dan penyayang merupakan sebuah anugerah dalam hidupku. Ditambah memiliki seorang ibu mertua yang sangat baik, menjadikan kehidupan pernikahanku ibarat di surga.

Apalagi setelah mengetahui kalau akan ada calon bayi yang sedang tumbuh di rahimku, menjadikanku dimanja bak seorang putri. Namun, ternyata takdir berkehendak lain. Memasuki usia kandungan trimester ke tiga, aku dan Mas Fajar mengalami kecelakaan. Waktu itu, Mas Fajar lupa menghidupkan lampu sein saat akan berbelok menuju restoran favorit kami. Sehingga sebuah truk menghantam mobil yang kami kendarai dari belakang.

Saat itu, aku dan Mas Fajar terluka cukup parah. Mas Fajar mengalami beberapa luka benturan dan patah di beberapa ruas tulang tubuhnya. Sementara aku, harus rela kehilangan calon bayi beserta rahim yang ikut hancur akibat benturan yang sangat keras.

Duniaku terasa hancur, harapan untuk menjadi seorang ibu kini musnah sudah. Pada awalnya, suami dan ibu mertua masih memperlakukan aku dengan sangat baik. Namun, lama-kelamaan sikap mereka berubah.

Ibu mertua sering mengeluh ingin memiliki cucu dari putra semata wayangnya, sikapnya pun mulai berubah kasar. Dia menganggap aku adalah wanita tidak berguna karena tidak mampu memberikan keturunan.

Hampir tiap hari cacian, bahkan sumpah serapah selalu kuterima dari mertua dan ipar-iparku. Sementara Mas Fajar, dia tidak pernah membela, malah dengan kejam dia ingin menceraikanku.

Aku tidak sanggup berpisah dari Mas Fajar. Hidup sebagai seorang yatim piatu tanpa sanak keluarga dan juga harta, mebuatku menggantungkan hidup hanya kepada Mas Fajar. Akan kemana andai dia menceraikanku.

“Mas tidak akan menceraikan kamu, Win. Tapi dengan satu syarat, mas akan menikahi wanita lain untuk memperoleh keturunan. Dengan, atau tanpa restu dari kamu.”

Ucapan Mas Fajar terdengar bagaikan sambaran petir. Aku hanya pasrah ketika keputusan Mas Fajar mendapat dukungan penuh dari seluruh keluarga. Ternyata Siska lah yang menjadi pilihan, ternyata tanpa sepengetahuanku selama ini Mas Fajar menjalin hubungan dengannya. Mekah, sekarang gadis yang biasa memanggilku Mbak Win itu tengah berbadan dua. Segala kegetiran hidup kini harus rela kujalani.

***

“Win, siapkan air hangat untuk mandi Siska.”

“Win, belikan rujak. Siska kepingin makan yang segar-segar.”

“Win, pekerjaan rumah kamu yang harus mengerjakan semua. Siska lagi hamil, nanti calon bayinya terganggu.”

Setiap hari hanya perintah dan perintah yang kuterima dari suami dan mertuaku. Aku tidak lebih layaknya seorang pembantu di mata mereka. Kini, kamar yang biasa kutempati bersama Mas Fajar ditempati Siska dan Mas Fajar. Sementara aku, harus rela tidur di kamar yang dulunya dijadikan gudang.

“Kamu, Wina, kan?” sebuah suara mengalihkan perhatianku dari tumpukan sayur yang akan kubeli di pasar.

“Amel?!” ucapku tidak percaya mendapati siapa sosok yang memanggilku.

Dia adalah Amel, sahabat baikku di panti asuhan. Untuk sesaat kami berpelukan melepas kerinduan. Amel mengajakku untuk duduk di sebuah warung bakso dekat pasar untuk sekedar melepas rindu dan berbagi kabar.

“Bagaimana kabar kamu, Win?”

“Alhamdulillah, aku baik-baik saja, Mel.”

“Kamu tidak usah berbohong padaku, Win. Aku sudah mendengar semua cerita tentangmu, tentang suamimu.” Amel menatapku sedih.

Aku tertunduk menahan perih, tanpa terasa air mataku kembali mengalir. Pagi itu, kuceritakan semuanya kepada Amel, tanpa ada yang tersisa. Amel terlihat sangat marah atas segala perlakuan keji yang kuterima dari suami dan juga mertuaku.

“Win, kamu jangan mau diam lagi. Cukup sudah penderitaan yang kamu alami selama ini. Kini saatnya kamu harus membalas perlakuan kejam mereka.” Suara Amel terdengar menahan amarah.

“Aku bisa apa, Mel? Aku hanya seorang yatim piatu tanpa sanak keluarga.”

“Aku saudaramu, Win. Aku yang akan membantu kamu membalaskan sakit hati yang kamu rasakan selama ini.”

“Maksud kamu apa, Mel?”

“Besok kita bertemu lagi di sini, aku akan mengajak kamu ke suatu tempat.” Aku hanya mengangguk mendengar perkataan Amel.

Sepanjang malam aku tidak berhenti memikirkan apa maksud perkataan Amel siang tadi. Hingga pagi menjelang, tidak sekejap pun mataku terpejam. Setelah menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah, aku bergegas pergi ke pasar dengan alasan akan berbelanja.

Amel membawaku entah kemana dengan mobilnya, sementara aku tidak berani banyak bertanya. Mobil keluaran terbaru itu melaju menuju ke arah luar kota. Akhirnya, mobil yang dikemudikan Amel berhenti di depan sebuah gubug di tengah sebuah hutan.

“Gubug siapa ini, Mel?”

“Sudah, kamu tenang aja, percaya padaku.” Senyuman Amel membuyarkan kekhawatiranku.

Kami pun memasuki gubug yang terlihat nyaris rubuh itu. Suasana di dalam begitu menyeramkan. Terlihat di dinding tergantung beberapa kepala binatang yang sudah diawetkan. Di tengah ruangan terdapat sebuah menja yang dilengkapi dengan segala sesajen dan dupa, menambah keangkeran suasana gubug yang entah siapa pemiliknya itu. Aroma kemenyan yang memenuhi seluruh ruangan menambah kesan mistis.

Tidak lama kemudian, seorang wanita tua berbadan bungkuk berambut putih yang tergerai sebatas punggung, keluar dari salah satu kamar.

“Maaf, Nyi Kanti, saya mau minta tolong untuk teman saya ini,” ucap Amel ketika wanita tua itu duduk bersila di balik meja yang berisi segala sesajen.

Sementara, wanita yang dipanggil Nyi Kanti itu menatap tajam ke arahku.

“Sudah waktunya kamu membalas semua perbuatan jahat suami dan keluarganya. Nyai akan membantu,” ucapnya dengan suara parau membuatku terkejut.

Darimana Nyi Kanti tahu apa yang telah terjadi kepadaku. Lalu Nyi Kanti membakar kemenyan di atas bara tungku. Aku hanya menelan ludah menyaksikan bibir keriputnya komat-kamit merapal mantera.

Sejenak hatiku menolak karena ini adalah cara sesat. Namun, sebelumny Amel telah berhasil membujukku untuk mau mengikuti caranya bersekutu dengan iblis demi mendapat kekayaan. Sementara aku, bersekutu untuk membalaskan dendam.

Malam itu, diam-diam aku mulai melaksanakan ritual. Kembang tujuh rupa serta sebuah jeruk purut dan beberapa jarum yang dibawa dari rumah Nyi Kanti, telah kupersiapkan di atas sehelai kain kafan. Aku pun mulai merapal mantera yang telah diajarkan Nyi Kanti siang tadi.

Tak lama berselang, jarum-jarum itu satu persatu mulai kutusukkan ke kulit jeruk purut. Aneh memang, sejurus kemudian terdengar suara jeritan kesakitan dari kamar ibu mertuaku. Wanita kejam itu terdengar berteriak-teriak sambil berkata kepalaku-kepalaku.

Aku hanya tersenyum mendengar teriakan dan kegaduhan yang terjadi malam itu. Untuk menutupi kesalahan, aku berpura-pura membantu agar tidak ada seorang pun yang mencurigaiku.

Sejak malam itu, kejadian demi kejadian aneh mulai terjadi di rumah. Ibu mertua yang mendadak sakit tapi tidak pernah terdeteksi apa penyakitnya. Mas Fajar yang kini seperti orang linglung karena perusahaanya bangkrut. Sementara Siska, kini seperti wanita gila. Selalu berteriak ketakutan karena selalu diteror sesosok genderuwo yang akan memakan calon bayi yang ada di perutnya. Sementara, ipar-iparku satu persatu hidupnya berantakan.

Kini aku dapat tersenyum puas, karena semua dendamku kepada keluarga itu telah terbayar lunas. Setelah puas membalas dendam, aku memutuskan pergi dari rumah terkutuk itu. Di sinilah aku sekarang, hidup menjanda di sebuah rumah mewah dengan harta yang melimpah. Setelah dendamku terbalas, aku memutuskan mengikuti jejak Amel melakukan pesugihan ludah pocong untuk mencari kekayaan.

Banda Aceh, 30 Desember 2021

Bionarasi Penulis:
Wulan Ayu, seorang wanita yang telah jatuh cinta pada dunia literasi sejak bangku SMP. Menulis baginya merupakan sebuah cara mengekspresikan diri. Telah berhasil menuliskan namanya di 24 antologi puisi dan cerpen. Memiliki buku solo masih menjadi impian terbesarnya. Sebuah keyakinan masih dipegang teguh, bahwa kelak apa yang menjadi impiannya akan terwujud.

5 Komentar

  1. Keren banget

    1. Iya, Mbak e. Ayo Mbak e ikutan nulis dong.

      1. Sinau seg. Aku ga patek iso nek cerpen kui

  2. Terimakasih atas apresiasinya…☺️

    1. Karyanya memang keren, Kak. Tunggu event berikutnya yang lebih seru.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *