Karya: Fei Hyang

Kemarin dari kemarin telah terlewat. Hari di mana aku melihatmu tertidur seharian, mengeluh pengecapmu hilang, serta penciumanmu memudar. Hari di mana aku menuangkan seluruh isi minyak kayu putih dan kamu semakin tersedu karena tak mendapati bau. Kedua tanganmu meremas dada kemudian merintih sesak luar biasa. Kamu pun tumbang pada hari kelima.
Kini, kita duduk bercakap-cakap dengan menikmati pemandangan yang tidak biasa terlihat. Sawah dengan padi yang masih renggang. Tiga hari lalu, ada enam perempuan dan tujuh laki-laki yang menanaminya. Lantas, hari ini kita menikmati satu lagi pemandangan yang asing, tetapi mulai tak lagi asing. Seorang perempuan menggendong anak kecil di belakang punggung dengan jarik, sedangkan tangan kirinya membawa jala.
“Menurutmu, apa yang akan perempuan itu lakukan?”
“Menanam padi?” Aku menimpali pertanyaanmu dengan sedikit gurauan. Sudah pasti hal itu tak benar. Padi sudah tertanam. Lagi pula, perempuan itu hanya sendirian. Ah, bukan! Ia berdua dengan anak perempuan kecil yang masih belum diturunkan dari gendongannya.
“Dia membawa jaring,” lanjutmu bicara. “Ikan?”
Aku menggeleng, masih dengan memperhatikan objek yang kita bicarakan. “Belut.”
“Bukan ikan?” tanyamu kemudian.
“Mana ada ikan di sawah yang ditanami padi.”
“Oh, aku kira ada.”
Setelahnya, kita kembali terdiam. Kamu sedikit menarik gorden untuk menghalau silau dari matahari yang sedikit demi sedikit mulai beranjak ke peraduan.
“Coba lihat!”
Aku ikuti arah jarimu menunjuk. Pada pematang sawah, perempuan berjarik cokelat itu duduk. Ia melepas gendongan dan menurunkan anak kecil itu di samping kirinya, membiarkan rambut sepunggung balita itu melambai-lambai tertiup angin. Kali ini ada yang istimewa. Jika kemarin sore perempuan itu datang hanya dengan jala, kini ada satu kail terbawa.
Kamu melarikkan senyuman di wajah yang terpantul warna dari senja yang menjingga seraya girang berujar, “Nah, aku benar ternyata! Hari ini dia datang untuk memancing.”
Detik kemudian wajahmu berubah masam, berganti aku yang tertawa terpingkal-pingkal. Sebatang kail memang ada di tangan, tetapi memancing tampaknya bukanlah alasan. Kantung kresek hitam ia sobek, lantas menalinya pada ujung kail. Girang tampak pada wajah si anak kecil. Ia berlari-lari di pematang bak bermain layang-layang.
“Ah, aku salah tebak!” Kamu memukulkan jemari kanan yang mengepal ke kosen jendela.
“Pengamatanmu kurang tajam.”
“Menurutmu, apakah itu anaknya?”
Aku mengendikkan bahu, menanggapi ujarmu. Senyatanya memang kita berdua tak pernah tahu siapa dan dari mana perempuan itu. Bersuami ataukah sendiri. Anak kecil itu benar anaknya ataukah hanya balita yang dia asuh, atau mungkin justru adiknya karena perempuan itu masih terlihat muda. Salah satu dari beberapa kemungkinan itu bisa benar adanya. Sejak kemarin dari kemarin, kita hanya duduk di sini, sebagai penonton. Kita mengamati segala hal yang terjadi meski kadang sama-sama tak memahami.
“Sudah jadwalnya.” Kamu berjalan mematikan jam beker yang berdering lima kali. Sembilan butir obat kamu ambil dari laci, lantas meminumnya dengan segelas air putih.
“Mau buah? Jeruk? Apel?” tanyaku sembari membuka lemari pendingin dan mengamati isinya. Cukup banyak buah yang tersimpan rupanya. Beberapa biji jeruk sunkist bahkan hampir membusuk. Ada apel merah yang tinggal separuh, lalu beberapa kaleng kecil susu sapi murni.
“Masih malas makan. Nggak berasa.”
Hanya tiga belas hari, tetapi perubahan berat badanmu sangat kentara. Irisan papaya, belimbing, mangga, bengkuang, dan juga mentimun yang tersiram saus kacang pedas tak tersentuh sedikit pun. Padahal biasanya, kamu akan rela menyusuri jalanan sejauh tiga kilometer dari rumah hanya demi seporsi makanan pedas itu.
Segelas air putih itu tinggal separuh setelah sembilan butir obat luruh melewati kerongkonganmu. Setelahnya, kita kembali berdiri ke sisi jendela, menikmati pemandangan yang biasa, tetapi tampak luar biasa.
“Ular?”
“Sepertinya belut.” Jawaban yang kulontarkan membuatmu terperangah kagum menatap perempuan berjarik cokelat yang sedang berdiri di pematang sawah.
Senja kian merapat, langit melembayung. Mata kita mengikuti setiap gerak-gerik si perempuan. Ia kembali menyelempangkan kain sampai ke punggung untuk menggendong gadis kecil itu lagi. Ia meneguk air dari botol plastik yang dibawanya, kemudian melangkah meninggalkan persawahan.
“Menurutmu, akan jadi apa anak kecil tadi di masa depan?”
Sekali lagi aku hanya mengendikkan bahu untuk menimpali tanyamu. Senyatanya, aku memang bukan penulis takdir. Tak mungkin mampu untuk menafsir.
“Aku akan selalu mengenang perempuan itu,” katamu seraya bersandar pada kosen jendela.
“Iya, silakan.”
“Menurutmu,” ujarmu terjeda, menatapku antusias, “apa penulis seperti aku pun akan ada yang mengenang nantinya?”
Matamu berbinar. Sebuah binar yang kemarin dari kemarin sempat redup. Aku sungguh rindu melihatmu yang berwajah ingin tahu dan berseri-seri bak kupu-kupu yang mengitari biji-biji padi.
“Ada.”
“Siapa?”
“Aku,” jawabku dan kamu tergelak karenanya. Aku pun rindu. Sungguh rindu tawa lebarmu. Mata yang sedari awal sipit saat tertawa hanya menyisa segaris. Sungguh langka sudah pemandangan ini.
“Aku ingin tak terlupakan andai di mata mereka yang ingat aku adalah … ehm, aku adalah sosok yang baik. Namun, jika yang terpatri di benak adalah buruk, dilupakan saja. Tidak mengapa.”
“Jejak-jejak tulisanmu masih menyisa. Kamu tak akan dilupa begitu saja.”
“Sungguh?”
“Sungguh.”
“Syukurlah kalau begitu.” Sekali lagi kamu tersenyum, berdiri tegap menantang senja yang mulai memekat. “Berapa lama lagi, ya, usiaku ini?”
Dari samping, aku bisa melihat hidungmu yang mancung. Sejak awal memang mancung, tetapi hilangnya beberapa berat badan membuat tulang pipimu kian menonjol karena daging yang sedikit demi sedikit mulai berkurang. Kamu tampak lemah, aku bisa melihatnya.
Seminggu sebelum kamu menjadi penghuni ruangan bercat putih ini, aku masih mengingat jalas betapa payah keadaanmu kala itu. Dari satu hari, dua puluh empat jam yang terlewati, empat jam terpakai untuk kewajiban pada Sang Pencipta, juga mengisi perut meski tak selahap biasanya. Lantas, dua puluh jam lainnya telah habis begitu saja untuk tidur yang benar-benar tidur. Aku pikir, rasa mengantukmu adalah hal wajar, hasil dari kelelahan bekerja. Namun, kejanggalan demi kejanggalan terlihat jelas saat kamu mulai mengeluh dadamu sesak, lalu berteriak bahwa badanmu teramat sakit, seakan-akan ditindih dengan puluhan kilogram beras.
“Istirahatlah!”
Aku menarik kenop pintu, meninggalkanmu dengan wajah yang masih tampak kuyuh. Biasanya, kita akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di taman kota atau sekadar duduk menikmati senja berteman gulungan ombak di pantai. Kala itu, meski hanya diam, kita duduk merapat saling menggenggam. Kini, jangankan menggenggam, untuk bicara denganmu pun, baju khusus yang teramat tidak nyaman dengan masker yang membuat tulang hidungku sakit, wajib kukenakan.
Itu adalah kisah kemarin dari kemarin yang telah terlewat, sebelum akhirnya sirene ambulans membawamu keluar dari ruangan dan menempatkanmu pada tanah merah yang tak seorang pun boleh mengantarnya, termasuk aku.
Hari ini, jika kamu tahu, aku sedang melihat teja yang sama seperti hari itu. Aku pun melihat perempuan di pematang sawah dengan anaknya lagi dan mereka tampak sehat. Hari ini, aku tak lagi mengisahkan tentangmu, tetapi tentangku. Tentang aku yang mungkin akan segera menyusulmu.
SELESAI